OBYEK KAJIAN ILMU BALAGHAH


 PENDAHULUAN

Pengkajian sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan menggairahkan. Ketika dorongan rasa ingin tahu menggelora, maka pengembaraan pengkajian itu terasa indah dan bergairah. Sebelum mengkaji sesuatu secara mendalam, perlu diketahui sebelumnya obyek kajian apa saja yang terkandung dalam kajian tersebut, karena pengetahuan tentang sesuatu akan lebih mudah dipelajari dengan metode dan kajian yang sistematik.

Ilmu Balâghah, sebagaimana ilmu lain berangkat dari sebuah proses penalaran untuk menemukan premis-premis pengetahuan yang dianggap benar untuk kemudian disatukan menjadi kumpulan teori. Setelah teori itu terkumpul secara generik dengan pembagian-pembagian yang sepesifik, maka ada kecenderungan untuk mempelajari bagian-bagian tersebut secara parsial—banyak yang menyebut al-Sakkâki sebagai tokoh yang mengubah balâghah dari shinâ’ah menjadi ma’rifah—dari induktif menjadi deduktif. Dari paparan tersebut tersirat bahwa setiap ilmu mempunyai obyek kajian yang membatasi ruang gerak keilmuan tertentu, agar jelas dan tidak mengaburkan pembahasan.

Sastra yang merupakan ekspresi merdeka, bukan sesuatu yang tanpa aturan dan rumusan. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya beragam ilmu sastra yang menentukan kualitas karya saatra yang dianalisa. Dalam tradisi ilmu sastra Arab, balâghah setelah menjadi ilmu mempunyai rumusan-rumusan tertentu yang digunakan sebagi basis konkretisasi sastra dan tolak ukur keindahan dan ke-balâghah-an karya sastra. Balâghah merupakan ilmu sastra di atas kajian morfologi dan sintaksis, kajian balâghah berpijak pada kedua ilmu tersebut, yang secara teori prasyarat mempelajari balagah harus menguasai morfologi (sharf) dan sintaksis (nahw). Makalah ini secara ringkas berusaha untuk mendeskripsikan obyek kajian ‘Ilmu al-Balâghah.

PEMBAHASAN

AL-BALÂGHAH — AL-FASHÂHAH

Balâghah secara etimologi berarti al-wusûl wa al-intihâ’ (sampai dan berakhir). Balâghah secara terminologi hanya ditempatkan sebagi sifat yang melekat pada kalâm (balâghatu al-kalâm) dan sifat yang melekat pada mutakallim (balâghatu al-mutakallim). Balâghat al-kalâm, berarti mencari kalimat yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki, dengan kata-kata yang fasih baik ketika mufrad maupun murakkab. Sedangkan kalimat yang bâligh (al-kalâm al-balîgh) adalah kalimat yang mampu mengejawentahkan ide penutur untuk disampaikan kepada lawan tutur (pendengar) dengan gambaran ide yang tidak berubah pada keduanya. Sedangkan balâghat al-mutakallim, berarti kemampuan diri untuk mencipta kalimat yang balîgh (fasîh dan mengena sasaran)[1]. Dari terminologi di atas nampak jelas bagaimana balâghah mempunyai peran komunikatif—stimulus dan respon—dengan kalimat yang tidak ambigu dan mampu mewakili ide penutur.

Al-Fashâhah dalam istilah ilmuan balâghah diartikan sebagai ungkapan yang jelas dan gamblang, mudah difahami dan benar strukturnya, sebagaimana  biasa digunakan oleh para penyair dan penulis[2]. Fashâhah terdapat dalam kata (al-mufrad), kalimat (al-kalâm) dan penutur (al-mutakallim). Sedangkan balâghah hanya bersinggungan dengan kalimat (al-kalâm) dan penutur (al-mutakallim)-nya saja.[3] Dari pengertian balâghah dan fashâhah diatas nampak jelas bagaimana balâghah mensyaratkan aspek eksternal bahasa, yakni sampai dan mengenanya ide kalimat kepada lawan tutur. Balâghah menempatkan kalimat sebagai proses sampainya makna dari stimulus ke responden, tidak hanya pada aspek internal kalimat saja (mufrad), pendek kata kalimat yang balîgh mesti fashîh dan tidak sebaliknya.

Balâghah dalam terminologi ilmu berarti sebuah kemampuan untuk mengungkapkan apa yang ada dalam fikiran dengan ungkapan yang jelas maknanya dan benar strukturnya, sangat berkaitan erat dengan sastra bahkan awalnya mencakup ilmu sastra dengan segala macam bentuk dan keindahannya[4]. Balâghah dalam pengertian ini sering dipadankan dengan retorika, Gorys Keraf mengartikan retorika sebagai suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik.[5] Susunan pengetahuan yang berupa komulasi aturan-aturan pragmatik[6] dan estetika kalimat itulah yang dalam bahasa Arab kemudian disebut sebagai Ilmu Balâghah.

Balâghah mempunyai tiga cabang ilmu yaitu (1) Ilmu al-Ma’âni (2) Ilmu al-Bayân, dan (3) Ilmu al-Badî’, ketiganya mempunyai obyek kajian yang masing-masing saling melengkapi.

ILMU AL-MA’ÂNI

‘Ilmu Ma’âni adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan pola kalimat berbahasa Arab agar bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang dikehendaki penutur. Tujuan ‘ilmu al-ma’âni adalah menghindari kesalahan dalam pemaknaan yang dikehendaki penutur yang disampaikan kepada lawan tutur. Ilmuan bahasa yang dianggap sebagai pencetus Ilmu Bayan adalah ‘Abdul Qâhir al-Jurjani ( w. 471 H)[7].

Dari terminologi ‘ilmu al-ma’âni yang ingin menyelaraskan antara teks dan konteks, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada pola-pola kalimat berbahasa arab dilihat dari pernyataan makna dasar—ashly, bukan tab’iy— yang dikehendaki oleh penutur. Menurut as-Sakkâki, yang dikehendaki oleh pembacaan model ma’âni bukan pada struktur kalimat itu sendiri, akan tetapi terdapat pada “makna” yang terkandung dalam sebuah tuturan. Jadi yang terpenting dalam pembacaan ma’ani adalah pemahaman pendengar terhadap tuturan penutur dengan pemahaman yang benar, bukan pada tuturan itu secara otonom.[8]

Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut, (1) Kalâm Khabar (2) Kalâm Insya’ (3) al-Qasr (4) Îjaz, Ithnab dan Musâwah.

1. Kalâm Khabar (statement sentence)

Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak sesuai dengan fakta[9]. Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;

  • Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:

إني فقير إلى عفو ربي

  • Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh:

إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا

  • Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh;

إني وضعتها أنثى

Dilihat dari sisi susunan gramatikalnya kalâm khabar dibagi kedalam dua bentuk[10]:

Pertama: al-jumlah al-fi’liyyah (verbal sentence), menunjukkan suatu pekerjaan yang  temporal, dengan tiga keterangan waktu, sekarang, yang telah berlalu dan yang akan datang. Contoh:

أشرقت الشمس وقد ولى الظلام هاربا

Kedua: al-jumlah al-ismiyah (nominal sentence), biasanya untuk menentukan ketetapan sifat kepada yang disifati dan untuk menyatakan kebenaran umum (general thuth). Contoh:

الأرض متحركة والشمس مشرقة

2. Kalâm Insya’(originative sentence)

Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.[11] Kalâm insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.

a. Insya’ thalaby

Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi kedalam lima macam, yaitu[12]:

1) Al-`amr.

Al-`amr adalah meminta terlaksananya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan perintah. Dilihat dari bentuk kalimatnya, al-`amr dalam bahasa Arab memiliki empat bentuk, yaitu[13]:

a)       Fi’il `amr, contoh:

يَايَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَءَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا ( مريم:12)

b)      Fi’il mudhâri’ yang bersambung dengan lâm al-`amr, contoh:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ (الطلاق: 7)

c)       Ism fi’il al-`amr, contoh:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَيَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَااهْتَدَيْتُمْ َ { المائدة:105}

d)      Mashdar sebagai ganti fi’il `amr, contoh:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا { البقرة: 83}

Selain model pola kalimat al-`amr juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:

a)       Al-du’a` (do’a), contoh:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ { النمل: 19}

b)      Al-Irsyâd (petuah bijak), contoh:

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ (البقرة: 282)

c)       Al-Tahdîd (ancaman), contoh:

الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ {فصلت:40}

d)      Al-Ta`jîz (melemahkkan), contoh:

فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَآءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)

e)       Al-Ibâhah (pembolehan), contoh:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة:187)

2) Al-Nahy.

Al-nahy adalah meminta dihentikannya suatu pekerjaan kepada lawan bicara dengan superioritas dari penutur untuk melaksanakan permintaan. Struktur kalimatnya disusun dengan menyambungkan fi’il mudhâri’ dengan lâ nâhiyah ( berarti: jangan..!)[14] contoh:

وَلاَتُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ( الأعرف: 85)

Seperti halnya amr, struktur nahy juga memiliki beberapa fungsi makna, diantaranya:

a)       Al-du’â`(berfungsi sebagai do’a), contoh:

رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (ال عمران: 8)

b)      Al-Irsyâd ( memberi petuah bijak), contoh:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ… (المائدة: 101)

c)       Al-Dawâm (keabadian), contoh:

وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ اْلأَبْصَارُ (إبراهيم:42)

d)      Al-Tahdîd (ancaman), contoh:

لا تطع أمري ايها الأخ.

e)       Al-Tamannî (pengharapan), contoh:

يا ليل طلٍِ يا نوم زل * يا صبح قف لا تطلع

3) al-Istifhâm,

Al-Istifhâm adalah mencari tahu tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, dengan menggunakan adât al-istifhâm (kata sandang untuk istifhâm), yaitu: hamzah, hal, man, mâ, matâ, ayyâna, kayfa, aina, kam dan ayyu . Dilihat dari segi bentuk permintaannya, istifhâm dibagi menjadi tiga macam, yaitu[15]:

a)       Pertanyaan yang kadang meminta konfirmasi dan kadang meminta afirmasi (tashawwur). Adât yang digunakan adalah hamzah, contoh:

1) أ علي مسافر أم خالد؟       2)  أ علي مسافر؟

b)      Pertanyaan yang meminta afirmasi saja, adât al-istifhâm yang digunakan adalah hal.contoh:

هل يعقل الحيوان؟

c)       Pertanyaan yang meminta konfirmasi saja. Adât yang digunakan adalah semua adât al-istifhâm kecuali hal dan hamzah.contoh:

يسئلونك عن الساعة أيان مرسها؟

4) al-Tamannî

Al-Tamannî adalah mengharapkan sesuatu yang mustahil digapai atau yang  tidak mampu digapai[16].

a)       Sesuatu yang mustahil digapai, contoh:

ألا ليت الشباب يعود يوما * فأخبره بما فعل المشيب

b)      Sesuatu yang mungkin digapai namun tidak mampu teraih, contoh:

يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآأُوتِىَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (القصص:79)

Al-Tamannî memiliki satu `adât ashly yakni ليت dan mempunyai tiga `adât yang tidak ashly sebagai penggantinya, yaitu:

a)       Hal (apakah, adakah, akankah…), contoh:

فَهَل لَّنَا مِن شُفَعَآءَ فَيَشْفَعُوا لَنَآ أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنهُم مَّاكَانُوا يَفْتَرُونَ (الأعراف:53)

b)      Lau (jika, sekiranya..), contoh:

فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (الشعراء: 102)

c)       La’alla( niscaya…), contoh:

أ سرب القطا هل من يعير جناحه * لعلي إلى من قد هويت أطير

5) al-Nidâ’

al-Nidâ’ adalah meminta kedatangan sesorang atau sesuatu  dengan kata ganti yang bermakna “aku memanggil”. Ada delapan kata sandang dalam istifhâm, yaitu: hamzah, aiy, yâ, wâ, âa, ayâ, hayâ dan wâ. Hamzah dan aiy berfungsi untuk memanggil sesuatu yang berada di dekat pemanggil, sedangkan `adât yang lain untuk sesuatu yang jauh dari pemanggil. Contoh[17]:

أيا جميع الدنيا لغير بلاغة  * لمن تجمع الدنيا و أنت تموت

Selain berfungsi memanggil, al-nidâ’ memiliki makna yang beragam seiring konteks yang melingkupinya, macam-macam arti nidâ’ antara lain:

a)       Al-Ighrâ` (bujukan, anjuran), seperti anjuran kepada seseorang yang mondar mandir mau masuk rumah musuhnya:

يا شجاع أقدم…

b)      Al-Zijr (hardikan, cacian), contoh:

يا فؤدي متى المتاب ألما * تصح والشيب فوق رأس ألما

c)       Al-Tahassur wa al-taujî` (penyesalan dan kesakitan), contoh:

وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا (النباء:40)

d)      Al-Istighâtsah (permintaan pertolongan), contoh:

يا ألله…. حبي وهوائي مكتوم إليها

e)       Al-Nudbah (ratapan/elegi), contoh:

فواعجبا كم يدعي الفضل ناقص * ووا أسفا كم يظهر النقص فاضل

b. Insya’ Ghair Thalaby

Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’. Contoh:.[18]

a) al-Madh wa al-Dzam,menggunakan kata ni’ma, bi`sa dan habbadza, contoh:

نعم الكريم حائم….  وبئس البخيل مادر

b) Shiyaghu al-’Uqûd. kebanyakan menggunakan shîghah fi’il madhi, contoh:

بعتك هذا ووهبتك ذاك

c) al-Qasam, menggunakan wawu, ba’, ta’ dan lain sebagainya, contoh:

لعمرك ما فعلت كذا

d) al-Ta’ajjub, biasanya berisi dua pernyataan yang berkebalikan, contoh:

كيف تكفرون بالله وكنتم أمواتا فأحياكم (البقرة 28)

e)       al-Raja’, biasanya menggunakan, ‘asâ, hariyyu (la’alla) dan ikhlaulaqa, contoh:

عسى الله أن يأتي بالفتح

3. Al-Qashr (rhetorical restriction)

Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah al-maqsûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah al-maqsûr ‘alaihi (yang dikhususkan)[19]. Metodologi pembentukan qashr ada empat macam yaitu:

a)       Al-nafyu wa al-istitsnâ`, contoh:

ما شوقي إلا شاعر وما شوقي إلا شاعر

b)      Innamâ, contoh:

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا (الفاطر: 28)

c)       Mendahulukan kata yang seharusnya berada diakhir, contoh:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (الفاتحة: 5)

d)      Athaf dengan lâ, bal dan lakin, contoh:

عمر الفتى ذكره لا طول مدته * وموته حزيه لا يومه الداني

Qashr dilihat dari eksistensinya ada dua macam:

Pertama: Qashr Haqîqy yaitu pengkhususan sesuatu berdasarkan realitas kenyataan tuturan dan tidak keluar dari itu. Contoh,  لا إله إلا الله

Kedua: Qashr idhôfi yaitu pengkhususan sesuatu yang didasarkan pada penyandaran sesuatu yang berada diluar ujaran. Contoh:

إنما حسن شجاع

4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah (equality)

a. Îjaz adalah adanya makna yang luas dibalik kalimat yang pendek.  Îjaz ada dua macam, ada kalanya Qashr (meringkas) dan ada kalanya Hadf (membuang)[20]. Contoh:

ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)

وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)

b. Ithnab[21] adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:

تنزل الملائكة و الروح فيها

c. Musâwah adalah kalimat dimana kata-katanya sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang.

ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  *  ويأتيك بالأخبار من لم تزود

5. Al-Fashl dan al-Washl

Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu[22], contoh:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)

Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:

وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)

ILMU AL-BAYÂN

Al-Bayân secara etimologi berarti penyingkapan, penjelasan dan keterangan. Sedangkan secara terminologi, Ilmu Bayân berarti  dasar dan kaidah-kaidah yang menjelaskan keinginan tercapainya satu makna dengan bermacam-macam metode (gaya bahasa), bertujuan menjelaskan rasionalitas semantis dari makna tersebut.[23]

Berangkat dari pengertian Ilmu Bayan yang berisi bermacam-macam metode untuk menyampaikan makna, maka obyek kajiannya-pun berkisar pada berbagai corak gaya bahasa yang merupakan metode penyampaian makna. Obyek kajian ilmu Bayan meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz, dan (3) Kinâyah.

1. al-Tasybîh(comparison[24])

Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman, tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata-sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat. Tasybîh mempunyai beberapa variabel, diantaranya: Musyabbah, Musyabbah bih -keduanya disebut sebagai dua titik pokok tasybih-, Adâtu al-Tasybîh dan Wajhu al-Syibhi.[25] Dari beberapa variabel ini kemudian memunculkan beberapa macam tasybih, yaitu:

a. Tasybih Mursal, yaitu tasybih yang disebutkan adât (kata sandang)-nya, contoh:

أنت كالليث في الشجاعة والإقــ * دام والسيف في قراع الخطوب

b.     Tasybih Muakkad, yaitu tasybih yang dibuang adât (kata sandang)-nya, contoh:

أنت نجم في رفعة وضياء * تجتليك العيون شرقا وغربا

c. Tasybih Mujmal, yaitu tasybih yang dihilangkan wajah sibhi-nya., contoh:

كأنهن بيض مكنون

d.     Tasybih Baligh, yaitu tasybih yang tidak ada adat dan wajah shibhi-nya, contoh:

ركبوا الدياجى والسروج أهــ * لة وهم بدور والأسنة  أنجم

2. Al-Majâz(allegory)[26]

Majâz secara etimologi terbentuk dari kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual).[27]

Majâz ada dua macam, yaitu:

a. Majâz Lughawi

Majâz Lughawi adalah ujaran yang digunakan untuk menunjuk sesuatu diluar makna tekstual (dalam istilah percakapan) karena adanya korelasi (dengan makna kiasan), dengan adanya indikasi yang melarang pemaknaan asli (tekstual).[28] Majâz Lughawi dibagi lagi menjadi dua macam: Isti’ârah dan Majâz Mursal.

1) Isti’ârah

Istiârah adalah majâz dimana hubungan antara makna asli dengan makna kiasan bersifat hubungan ke-serupa-an. Isti’ârah dilihat dari segi penyebutan musyabbah dan musyabbah bih-nya dibagi lagi menjadi dua macam[29]:

a)      Al-Isti’ârah al-Tashrihiyyah: adalah isti’ârah yang diutarakan dengan tetap menyebutkan kata-kata musyabbah bih-nya, contoh:

وأقبل يمشى فى البساط فما درى * إلى البحر يسعى أم إلى البدر يرتقى

b)     Al-Isti’arah al-Makniyyah: adalah isti’ârah yang dibuang musyabbah bih-nya dan digantikan dengan sesuatu yang lazim dengan itu, contoh:

وإذا المنية أنشبت أطفارها *   ألفيت كل تميمة لا تنفع

Dilihat dari segi pengambilan kata-kata yang dijadikan isti’ârah, isti’ârah ada dua macam, yaitu:

a)      Isti’ârah Ashliyyah : yaitu isti’ârah yang mana kata-kata isti’arah-nya berasal dari ism jins (generik noun: kumpulan noun berupa sesuatu non-personal), contoh:

 كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ  )إبراهيم: 1(

b)     Isti’ârah Taba’iyyah: yaitu isti’ârah yang kata-kata isti’arah-nya diambil dari isim, fiil ataupun huruf, contoh:

وَلأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ وَأَبْقَى (طه:71)

Dilihat dari pengkiasan musyabbah dan musyabbah bih-nya, isti’arah dibagi menjadi tiga macam:

a.       Al-Isti’arah al-Murasysyahah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah bih-nya, contoh:

أُولَـئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوا الضَّلاَلَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَت تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة: 16)

b.      Al-isti’ârah al-Mujarradah: yaitu isti’ârah yang disebutkan pengkiasan pada musyabbah-nya, contoh:

وليلة مرضت من كل ناحية * فما يضئ لـها نجم ولا قمر

c)      Al-Isti’ârah al-Muthlaqah: yakni isti’ârah yang tidak disebutkan pengkiasan pasa musyabbah dan musyabbah bih-nya, ataupun disebutkan keduanya secara bersamaan, contoh:

الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآأَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (البقرة: 27)

2) Majâz Mursal

Majâz Mursal adalah majâz dimana hubungan pemaknaannya tidak bersifat ke-serupa-an. Majâz mursal dilihat dari segi pengkiasannya dibagi ke dalam beberapa bentuk, diantaranya[30]:

a)       As-Sababiyyah , contoh:

له أياد علي سابغة  *  أعد منها ولا أعددها (المتنبى)

b)      Al-Musabbabiyyah, contoh:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه (الآية)

c)       Al-Kulliyah, contoh:

يقولون بأفواههم ما ليس في قلوبهم (الآية)

d)      Al-Juz`iyyah, contoh:

فرجعنك إلى أمك تقر عينها ولا تحزن (الآية)

e)       I’tibâr mâ kâna, contoh:

وآتو اليتامى أموالـهم (الآية)

f)       I’tibâr mâ yakûnu, contoh:

إني أرني أعصر خمرا  (الآية)

g)      Al-Hâliyah, contoh :

واسأل القرية التى كنا فيها (الآية)

h)      Al-Mahalliyah, contoh:

وأما الذين ابيضت وجوههم ففى رحمة الله (الآية)

b. Majâz ‘Aqli

Majâz ‘aqli adalah majâz yang menyandarkan fi’il (verb) atau sejenisnya bukan kepada pemaknaan yang sebenarnya karena adanya indikasi yang melarang pemakmaan yang sebenarnya (tekstual)[31]. Ada beberapa model hubungan pengkiasan dalam majâz ‘aqli, diantaranya:

1)      Hubungan sebab akibat,  contoh:

وإذا تليت عليهم آياته زدتهم إيمانا

2)       Hubungan waktu, contoh:

يوما يجعل الولدان شيبا

3)      Hubungan tempat, contoh:

وجعلنا الأنهار تجرى من تحتهم

3. Al-Kinâyah(metonymy[32])

Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu  yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.[33]

Kinâyah dilihat dari segi kedudukan kalimatnya dibagi menjadi tiga, yaitu[34]:

a)       Berkedudukan sebagai sifat,contoh:

قالت الخنساء فى أخيها صخر: طويل النجاد رفيع العماد * كثير الرماد إذا ما شتا

b)      Berkedudukan sebagai mausûf, contoh:

الضاربين بكل أبيض مخدام * والطاعنين مجامع الأضغان

c)       Berkedudukan sebagai nisbat, contoh:

إن السماحة والمروءة والندى * فى قبة ضربت على ابن الحشرج

ILMU AL-BADÎ’

Al-Badî’ secara etimologi adalah kreasi yang dicipta tidak seperti ilustrasi yang telah ada. Secara terminologi, Ilmu Badi’ adalah ilmu yang mempelajari beberapa model keindahan stylistika, beberapa pepaês—ornamen perhiasan kalimat—yang menjadikan kalimat indah dan bagus, menyandangi kalimat dengan kesantunan dan keindahan setelah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.[35]

Secara gais besar ilmu badî’ mempunyai dua obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).

1. al-Muhassanât al-Lafdziyyah

a. al-Jinâs (paronomasia;pun[36]),

Jinâs adalah adanya kesamaan dua kata dalam pelafalan namun berbeda dalam pemaknaan. Ada dua macam jinâs, yaitu[37]:

1)      Jinâs tâm : adanya kesamaan antara dua kata dari jumlah hurufnya, macam hurufnya, syakl-nya dan urutannya. Contoh:

وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَالَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ {الروم: 55}

2)      Jinas ghairu tâm: adanya perbedaan antara dua kata dalam satu macam diantara keempat macam persyaratan tersebut (syakl, huruf, jumlah dan urutannya). Contoh:

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلاَتَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَتَنْهَرْ (الضحى:9-10)

b. al-Saj’(rhimed prose)

Saj’ dalam terminologi balâghiyyin berarti adanya dua kalimat atau lebih yang mempunyai akhiran dengan huruf yang sama, kata terakhir pada setiap kalimat disebut dengan fâshilah, dan setiap kalimat disebut dengan faqrah.[38]: Ada tiga macam saj’, yaitu:

a.       Al-Saj’ al-Mutharraf, yaitu dua kalimat atau lebih yang wazan fashilah-nya berbeda namun bunyi akhirnya sama, contoh:

أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ مِهَادًا   وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (النبأ:6-7)

b.      Al-Saj’ al-Murashsha’, yaitu dua kalimat atau lebih yang mana lafadz pada setiap faqrah-nya memiliki wazan dan qafiyah yang sama, contoh:

فهو يطبع الأسجاع بجواهر لفظه، ويقرع الأسماع بزواجر وعظه

c.       Al-Saj’ al-Mutawâzi, adalah dua faqrah yang sama dalam wazan dan qafiah-nya, contoh:

فِيهَا سُرُرُمَّرْفُوعَةٌ   وَأَكْوَابُُمَّوْضُوعَةٌ (الغاشية:13-14)

c. al-Tarshî’(homoeptoton)

Tarshî’ adalah adanya kesamaan antara lafadz dalam faqrah pertama (syathrah pertama) dengan faqrah sesudahnya dalam wazan dan qafiyah-nya[39]. Adakalanya sama persis dalam wazan dan a’jaz-nya, seperti:

إِنَّ اْلأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ  وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ ( الانفطار:13-14)

Dan adakalanya berdekatan saja dalam wazan dan a’jaz-nya, contoh:

وَءَاتَيْنَاهُمَا الْكِتَابَ الْمُسْتَبِينَ وَهَدَيْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (الصافات: 117-118)

d. al-Tasythir (internal rhyme)

Tasytîr adalah ketika pembagian penyair terhadap shadr dan ‘ajuz syair masing-masing menjadi dua bagian, dan antara shadr dan ‘ajuz, saja’-nya dibuat berbeda. Contoh:[40]

كالزهر فى ترف والبدر فى شرف * والبحر فى كرم والدهر فى همم

2. al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah

a. al-Tauriyah(paronomasia;pun)

Al-Tauriyah adalah ujaran yang mempunyai dua makna, pertama, makna yang dekat dari penunjukan ujaran yang nampak, kedua, makna yang jauh dan penunjukan katanya tersirat dan inilah makna yang dikehendaki. [41]Contoh:

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِالَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَاجَرَحْتُم بِالنَّهَارِ (الأنعام:60)

b. al-Thibâq (antithesis)

Tibâq adalah terkumpulnya suatu kata dengan lawan-kata-nya dalam sebuah kalimat, ada dua macam tibâq[42], yaitu:

1)      Tibâq al-Ijab, yaitu tibâq yang mana kedua hal yang berlawanan itu tidak hanya dibedakan dengan mempositifkan  dan menegatifkan saja, contoh:

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ (الكهف: 18)

2)      Tibaq al-Salbi, yaitu tibâq yang hanya memeperlawankan kata negatif dan positifnya saja.

فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِئَايَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة:44)

c. al-Muqâbalah (antithesis)

Muqâbalah adalah membuat susunan dua makna atau lebih, kemudian membuat susunan yang berlawanan dari makna itu secara berurutan.[43] Contoh:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى  وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى  وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (الليل:5-10).

d. Husnu al-Ta’lil (conceit)

Husnu al-ta’lil adalah pengingkaran seorang sastrawan secara tersurat maupun tersirat atas sebuah konvensi dan mendatangkan konvensi sastra baru sebagai cara yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan[44]. Contoh:

ماهتزب الأغصان فى الروض بفعل النسيم ولكنها رقصت غبطة بقدومكم.

e. Uslûb al-Hakîm(deliberate equivocation).

Uslûb al-Hakîm terjadi ketika orang yang diajak berbicara menjawab  sesuatu dan tidak sesuai dengan yang diharapkan orang yang bertanya. Dengan cara, keluar dari pentanyaan itu, atau dengan menjawab sesuatu yang tidak ditanyakan, ataupun membawa pembicaraan kepada topik lain, sebagai sebuah isyarat bahwa penanya pantasnya tidak usah menanyakan hal itu, atau berbicara pada topik yang diharapkan lawan bicara.[45] contoh:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ (البقرة: 189)

Selain dari beberapa macam muhassinât al-ma’nawiyyah di atas, para ulama balaghah masih banyak menyebutkan pola-pola lain seperti itbâ’, istitbâ’, tafrî’ dan lain sebagainya, namun diantara yang paling sering dikemukakan dan kita jumpai adalah lima pola diatas.

KESIMPULAN

Obyek  kajian ilmu balâghah merupakan tiga serangkai retorika bahasa arab yang saling melengkapi. Ilmu Ma’ani merupakan kajian makna pertama yang menyelaraskan ujaran dengan situasi dan kondisi. Setelah memahami makna pertama dari sebuah ujaran, Ilmu Bayan mengajak pembaca berfantasi memahami sebuah ide dengan beberapa style sastra yang kemudian disempurnakan irama dan maknanya oleh Ilmu Badi’.

Demikianlah pemaparan singkat tentang obyek kajian ilmu balâghah, menurut penulis, ilmu sastra-termasuk didalamnya ilmu balâghah-, merupakan sebuah struktur yang mengejawentah dari konvensi (rasa sastra) menjadi sebuah teori. Namun struktur itu bukan sesuatu yang statis akan tetapi merupakan proses strukturasi dan destrukturasi yang harus hidup dan berkembang. Semoga anugrah nalar dan lisan mampu jadi pelita penertian, pemahaman dan pencerahan. Amin… Wallâhu a’lam.

REFERENSI

Banna’, Haddam. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press

____________. Al-Balâghah:  fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. .

Ghufran, Muhammad. Al-Balâghah: fi Ilmi al- Badi’. Ponorogo:Darussalam Press.

Hasyimi, Ahmad. Jawâhir al-Balâghah.Beirut : Dâr al-Fikri. 1994. hlm. 28-30.

Jarim, ‘Ali dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004.

Sakkâki, Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut : Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987.

Verhaar, J.W.M.. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. cet. III. 2001.

Wahbah, Majdi dan Kamil Muhandis. Mu’jam al-Musthalahât al-’Arabiyyah fi al-

CATATAN

[1] Lihat. Ahmad Hasyimi. Jawâhir al-Balâghah.Beirut : Dâr al-Fikri. 1994. hlm. 28-31

[2] Ibid. hlm. 7.

[3] Jadi yang ada hanya istilah al-lafdhu al-fasîh dan tidak ada al-lafdhu al-baligh, sedangkan kalimat (kalâm) dan penutur (al-mutakallim) bisa fasîh dan juga balîgh. Lihat Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Mu’jam al-Musthalahât al-’Arabiyyah fi al-Lughah wa al-Adab. Beirut: Maktabah Lubnan. Cet. II. 1983. hlm. 260.

[4] Kemudian ilmu balâghah perlahan-lahan terpisah dari satra menjadi ilmu yang otonom dengan obyek pembelajaran yang jelas diantara ilmu-ilmu bahasa arab. Ibid. hlm. 259.

[5] Lihat, Gorys Keraf. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. XIV. 2004. hlm. 3.

[6] J.W.M. Verhaar mengartikan pragmatik sebagai cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan. Lihat. J.W.M. Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. cet. III. 2001. hlm. 14.

[7] Ahmad al-Hasyimi. Op.cit. hlm. 39-40.

[8] Al-Sakkâki sering disebut sebagai orang pertama yang menulis ilmu balâghah secara sisitematis, meskipun dia masih menggabungkan ilmu balâghah dengan ilmu nahwu, ilmu sharaf, semantik dan ilmu syi’ir. Lihat. Yûsuf ibn Abi Bakar Ya’kub ibn ‘Ali al-Sakkâki. Miftâhul ‘Ulûm. Beirut : Dâru al-Kutub al-’Ilmiyyah. Cet. II. 1987. hlm. 161

[9] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif. Cet.X. 1977. hlm. 139.

[10] Haddam Banna’. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press. hlm.13-16. dan Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 59-60.

[11] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 139.

[12] Haddam Banna’. Loc.cit. hlm. 22.

[13] Lihat. Ibid. hlm.22-23.

[14] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op. Cit. hlm. 184-187, dan Haddam Banna’. Ibid. hlm. 27-28.

[15] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid. hlm. 192-199, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 29-38.

[16] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid. hlm. 206-207, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 39.

[17] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid. hlm. 210-212, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 40-43.

[18] Insya’ Ghairu thalabi biasanya tidak dibahas Ulama Balâghah karena kebanyakan bentuknya pada dasarnya merupakan kalâm khabar yang berlawanan dengan kalâm insya’. Lihat. Ahmad Hasyimi. Op.cit.  Ibid. hlm. 6.

[19]Loc. cit. hlm. 154

[20] Lihat. ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. ibid. hlm. 239-250, dan Haddam Banna’, ibid. hlm. 66-77.

[21] Ithnâb dalam bahasa Indonsia hampir mirip dengan istilah Pleonasme dan Tautologi, yang merupakan acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan, atau juga bisa disamakan dengan Perifrasis, hanya saja perifrasis kata-kata yang berkelebihan itu dapat diganti dengan satu kata saja dalam pleunasme kata-kata yang berkebihan itu dapat dihilangkan Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.133-134.

[22] Ahmad Hasyimi. Op.cit. hlm. 170-171.

[23] Ibid.. hlm. 212.

[24] Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat ekplisit yang langsung menyatakan sesuatu dengan yang lain. Lihat. Gorys Keraf. Op,cit. Hlm. 138.

[25] Haddam Banna’ . al-Balâghah, fi Ilmi al-Bayan. Ponorogo: Darussalam Press. hlm. 23-26. dan ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op.cit. Hlm.20.

[26] Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan, makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Lihat. Goris Keraf. Op.cit. hlm. 140.

[27] Majdi Wahbah dan Kamil Muhandis. Op.cit. hlm. 333.

[28] Ahmad Hasyimi. Op.cit. 235

[29] Ibid. hlm.262, Hadam Banna’. Op.cit. hlm. 61-66.

[30] Lihat. Haddam Banna’. Op.cit. hlm. 80-84.

[31] ‘Ali Jarim dan Mustafa Amin. Op. Cit. hlm. 117. dan Ahmad Hasyimi. Op. Cit. hlm. 258

[32] Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma yang berarti nama. Dengan demikian metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm. 142.

[33] Ahmad Hasyimi. Loc.cit. hlm. 297

[34] Haddam Banna’. Op.cit.hlm.92-95.

[35] Ahmad Hasyim. Loc.cit. hlm. 308

[36] Pun atau paromonasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada permainan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya. Lihat. Gorys Keraf. Op.cit. hlm.145.

[37] Muhammad Ghufran.Balâghah: Ilmu Badi’. Ponorogo:Darussalam Press.hlm. 23-25.

[38] Ibid. hlm. 29-31 dan Ahmad Hasyimi. Op. Cit. Hlm. 351-352

[39] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 33-35 dan Ahmad Hasyimi. Ibid. hlm. 351-352.

[40] Muhammad Ghufran. Ibid. hlm-38-40

[41] Ahmad Hasyimi. Loc. cit. hlm. 310-311.

[42] Muhammad Ghufran. Loc. cit. hlm. 56-57.

[43] Ahmad Hasyimi. Loc.cit.. Hlm. 314-315. dan Ibid. hlm. 60-61.

[44] Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. hlm. 288-289 dan Ibid. hlm. 66-68.

[45] ‘Ali Jarim dan Musthafa Amin. Op.cit. Hlm. 295-296. dan Muhammad Ghufran. Ibid. hlm. 66-68.

TEKNIK PENGUMPULAN DATA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF


BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.      LATAR BELAKANG MASALAH

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat penggunaannya melalui: angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi atau yang diteliti.

Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya, pengumpulan data ada yang dilaksanakan melalui pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif.

 

  1. B.       RUMUSAN MASALAH
    1. Apa yang dimaksud teknik pengumpulan data?
    2. Bagaimana teknik pengumpulan data kuantitatif?
    3. Bagaimana teknik pengumpulan data kualitatif?
  2. C.      TUJUAN PEMBAHASAN
  1. Sebagai sarat pemenuhan tugas terstruktur Mata Kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan.
  2. Sebagai bahan pemahaman untuk melakukan penyusunan sekripsi di akhir kuliah.

 

 

 

BAB II

TEKNIK PENGUMPULAN DATA DALAM PENELITIAN

KUANTITATIF DAN KUALITATIF

 

  1. A.      Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk pengumpulan data. Teknik dalam menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat penggunaannya melalui: angket, wawancara, pengamatan, ujian (tes), dokumentasi, dan lain-lain. Peneliti dapat menggunakan salah satu atau gabungan teknik tergantung dari masalah yang dihadapi atau yang diteliti.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam proses penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang diperlukan disini adalah teknik pengumpulan data mana yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable.

Terdapat dua hal utama yang mempengaruhi kualitas data hasil penelitian yaitu, kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Kualitas instrumen penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen dan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu instrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya, belum tentu dapat menghasilkan data yang valid atau reliabel, apabila instrumen tersebut tidak digunakan secara tepat dalam pengumpulan datanya. Untuk mengetahui bagaimana teknik pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif maka akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.

Dalam suatu penelitian, langkah pengumpulan data adalah satu tahap yang sangat menentukan terhadap proses dan hasil penelitian yang akan dilaksanakan tersebut. Kesalahan dalam melaksanakan pengumpulan data dalam satu penelitian, akan berakibat langsung terhadap proses dan hasil suatu penelitian.

Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya, pengumpulan data ada yang dilaksanakan melalui pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan kondisi tersebut, pengertian pengumpulan data diartikan juga sebagai proses yang menggambarkan proses pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Pengumpulan data, dapat dimaknai juga sebagai kegiatan peneliti dalam upaya mengumpulkan sejumlah data lapangan yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian (untuk penelitian kualitatif), atau menguji hipotesis (untuk penelitian kuantitatif).

Dan data yang dikumpulkan dalam penelitian digunakan untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan, karena data yang diperoleh akan dijadikan landasan dalam mengambil kesimpulan, data yang dikumpulkan haruslah data yang benar. Agar data yang dikumpulkan baik dan benar, instrument pengumpulan datanya pun harus baik.

Teknik pengumpulan data sangat ditentukan oleh metodologi penelitian, apakah kuantitatif atau kualitatif. Dalam penelitian kualitatif dikenal teknik pengumpulan data: observasi, focus group discussion (FGD), wawancara mendalam (indent interview), dan studi kasus (case study). Sedangkan dalam penelitian kuantitatif dikenal teknik pengumpulan data: angket (questionnaire), wawancara, dan dokumentasi.

 

  1. B.       Teknik Pengumpulan Data Kuantitatif

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting dan berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural seting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data pada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya kalau dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan interview, kuesioner (angket), observasi (Sugiyono, 2012: 193-194)

  1. 1.    Interview (Wawancara)

Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil.

Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan teknik interview dan juga kuesioner adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa subjek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.
  2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
  3. Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si peneliti.

Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka maupun lewat telepon.

  • Wawancara terstruktur

Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun sudah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan pengumpul data mencatatnya.

Dalam melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur dan material lain yang dapat membantu pelaksanaan wawancara berjalan lancar. Adapun contoh wawancara terstruktur tentang tanggapan Mahasiswa terhadap pelayanan Kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon:

1)        Bagaimanakah tanggapan Saudara/I terhadap pelayanan yang ada di PBA?

a)         Sangat bagus

b)        Bagus

c)         Tidak bagus

d)        Sangat tidak bagus

2)        Bagaimanakah tanggapan Saudara/i terhadap pelayanan Administrasi di IAIN Syekh Nurjati?

a)         Sangat bagus

b)        Bagus

c)         Tidak bagus

d)        Sangat tidak bagus

  • Wawancara tidak terstruktur

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Adapun contohnya adalah sebagai berikut: “Bagaimanakah pendapat Saudara terhadap kebijakan-kebijakan Rektor terhadap UKM-UKM yang ada di IAIN Syekh Nurjati Cirebon?dan bagaimana dampaknya terhadap mahasiswa!”.

 

 

  1. 2.    Kuesioner

Kuesioner merupakan alat teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Iskandar, 2008: 77).

Uma sekaran (1992) dalam Sugiyono mengungkapkan beberapa prinsip penulisan angket yaitu sebagai berikut:

1)        Prinsip penulisan angket

  1. Isi dan tujuan pertanyaan, yang dimaksud disini adalah isi pertanyaan tersebut merupakan bentuk pengukuran atau bukan. Kalau berbentuk pengukuran, maka dalam membuat pertanyaan harus teliti, setiap pertanyaan harus ada skala pengukuran dan jumlah itemnya mencukupi untuk mengukur variabel yang diteliti.
  2. Bahasa yang digunakan, bahasa yang digunakan dalam penulisan angket harus disesuaikan dengan kemampuan berbahasa responden.
  3. Tipe dan bentuk pertanyaan, tipe pertanyaan dalam angket dapat berupa terbuka atau tertutup, (dalam wawancara bisa terstruktur dan tidak terstruktur),  dan bentuknya dapat menggunakan kalimat positif dan negatif.
  4. Pertanyaan tidak mendua
  5. Tidak menanyakan yang sudah lupa
  6. Pertanyaan tidak menggiring, artinya usahakan pertanyaan tidak menggiring pada jawaban yang baik saja atau yang jelek saja.
  7. Panjang pertanyaan, pertanyaan dalam angket sebaiknya tidak terlalu panjang, sehingga akan membuat jenuh responden dalam mengisi.
  8. Urutan pertanyaan, urutan pertanyaan dalam angket, dimulai dari yang umum menuju ke hal yang spesifik, atau dari yang mudah menuju hal yang sulit.

 

 

  1. 3.    Observasi

Dalam menggunakan observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai instrumen pertimbangan kemudian format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan. Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian kepada skala bertingkat. Misalanya memperhatikan reaksi penonton televisi, bukan hanya mencatat rekasi tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut apakah sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki (Arikunto, 2006: 229).

 

  1. C.      TEKNIK PENGUMPLAN DATA KUALITIATIF

Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1). wawancara, 2). observasi, 3). dokumentasi, dan 4). diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Sebelum masing-masing teknik tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat penting  yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan. Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang diperoleh.

  1. a.        Wawancara

Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Emzir, 2010: 50). Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.

Byrne (2001) menyarankan agar sebelum memilih wawancara sebagai metoda pengumpulan data, peneliti harus menentukan apakah pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan tepat oleh orang yang dipilih sebagai partisipan. Studi hipotesis perlu digunakan untuk menggambarkan satu proses yang digunakan peneliti untuk memfasilitasi wawancara.

Menurut Miles dan Huberman (1984) ada beberapa tahapan yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara, yaitu:

a)        The setting, peneliti perlu mengetahui kondisi lapangan penelitian yang sebenarnya untuk membantu dalam merencanakan pengambilan data. Hal-hal yang perlu diketahui untuk menunjang pelaksanaan pengambilan data meliputi tempat pengambilan data, waktu dan lamanya wawancara, serta biaya yang dibutuhkan.

b)        The actors, mendapatkan data tentang karakteristik calon partisipan. Di dalamnya termasuk situasi yang lebih disukai partisipan, kalimat pembuka, pembicaraan pendahuluan dan sikap peneliti dalam melakukan pendekatan.

c)        The events, menyusun protokol wawancara.

Setidaknya, terdapat dua jenis wawancara, yakni: 1). wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali. 2). wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara mendalam, wawancara terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup, karena peneliti terikat  dengan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Sering terjadi pewawancara atau peneliti lebih memperhatikan daftar pertanyaan yang diajukan daripada bertatap muka dengan informan, sehingga suasana terasa kaku.

  1. b.        Observasi

Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian (Guba dan Lincoln, 1981: 191-193).

Bungin (2007: 115-117) mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu: 1). Observasi partisipasi, 2). observasi tidak terstruktur, dan 3). observasi kelompok. Berikut penjelasannya:

  • Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
  • Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
  • Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian.
  1. c.         Dokumen

Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna (Faisal, 1990: 77).

  1. d.        Focus Group Discussion

Metode terakhir untuk mengumpulkan data ialah lewat Diskusi terpusat (Focus Group Discussion), yaitu upaya  menemukan makna sebuah isu oleh sekelompok orang lewat diskusi untuk menghindari diri pemaknaan yang salah oleh seorang peneliti. Misalnya, sekelompok peneliti mendiskusikan hasil UN 2011 di mana nilai rata-rata siswa pada matapelajaran bahasa Indonesia rendah. Untuk menghindari pemaknaan secara subjektif oleh seorang peneliti, maka dibentuk kelompok diskusi terdiri atas beberapa orang peneliti. Dengan beberapa orang mengkaji sebuah isu diharapkan akan diperoleh hasil pemaknaan yang lebih objektif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. Kesimpulan

            Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam proses penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Teknik pengumpulan data yang diperlukan disini adalah teknik pengumpulan data mana yang paling tepat, sehingga benar-benar didapat data yang valid dan reliable.

Kegiatan pengumpulan data pada prinsipnya merupakan kegiatan penggunaan metode dan instrumen yang telah ditentukan dan diuji validitas dan reliabilitasnya. Secara sederhana, pengumpulan data diartikan sebagai proses atau kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan lingkup penelitian. Dalam prakteknya, pengumpulan data ada yang dilaksanakan melalui pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan kondisi tersebut, pengertian pengumpulan data diartikan juga sebagai proses yang menggambarkan proses pengumpulan data yang dilaksanakan dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting dan berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya data dapat dikumpulkan pada setting alamiah (natural seting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan berbagai responden, dan lain-lain. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data pada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Selanjutnya kalau dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan interview, kuesioner (angket), observasi.

Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1). wawancara, 2). observasi, 3). dokumentasi, dan 4). diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami. Sebelum masing-masing teknik tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat penting  yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan. Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang diperoleh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitaif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Group

Sanafiah Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: YA3

Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA. 2012 (cet. 15)